Kamis, 27 September 2012

“Teknik Fotografi Makro dan Hasil Bagus Itu Gampang Kok, Beneran!” ^_^

Defenisi klasik fotografi makro adalah ukuran objek foto pada negatif film, ukurannya sama dengan objek nyata, dengan kata lain rationya 1:1.

Seiring kemajuan teknologi yang menghasilkan fotografi digital, defenisi fotografi makro pun berubah menjadi lebih dinamis yaitu teknik pengambil foto objek dalam jarak yang sangat dekat, berkisar antara 10-60 cm dari lensa kamera. Sedangkan jarak yang lebih dekat dari 10 cm, bisa dikatakan telah memasuki wilayah fotomikrografi.
Defenisi inipun menjadi rancu karena bisa saja pada saat pengambilan foto jarak objek dengan lensa, katakanlah 2 meter, bisa “direkayasa” menjadi fotografi makro. Hal ini bisa dilakukan pada foto yang memiliki resolusi yang sangat tinggi misalnya 40 megapixel. Misalnya mengambil foto seseorang dari jarak 2 meter dari lensa, lalu pada saat pengeditan, bagian mata di zoom atau diperbesar (magnification) trus di cropping, jadi fotografi makro deh ^_^
Weleh, koq jadi ribet ya, katanya gampang… Eits, teknik pengambilan fotografi makronya yang gampang bukan defenisinya (bela diri ni heeehhehe). Pokoknya pembaca dah mengerti maksud saya kan hehehehh…
Tips Teknik Memperoleh Hasil Foto Makro yang Bagus
Tujuan umum fotografi makro adalah untuk mendapatkan detail objek. Pada prinsipnya tips fotografi dalam artikel saya sebelumnya berlaku juga pada fotografi makro, yang perlu ditekankan adalah:


  1. Memiliki Tujuan; untuk memperoleh hasil yang maksimal penting diketahui tujuan pengambilan fotografi makro, apakah hanya untuk sekedar iseng, seni, kepentingan ilmiah, pemberitaan atau promosi produk, dengan demikian kita bisa fokus. Biasanya untuk kepentingan ilmiah dan pemberitaan lebih mengutamakan “pesan foto” daripada keindahannya (seni), namun akan menjadi foto yang hebat apabila keduanya dapat disatukan.

  2. Menggunakan lensa khusus makro atau mengaktifkan modus makro pada kamera.

  3. Menggunakan manual fokus (kalau ada pada kamera tentunya), karena seringkali autofokus “tidak mengetahui” bagian mana yang kita inginkan dari objek untuk difokuskan.

  4. Menggunakan penyangga kamera; fotografi makro sangat sensitif terhadap goncangan, gunakan monopod, bipod, tripod, tetrapod atau benda-benda lain sebagai penyangga kamera misalnya buku atau apalah… terserah pembaca >.<
  5. Menggunakan fitur self timer kamera, sehingga kamera benar-benar bebas dari goncangan.

  6. Sebaiknya tidak menggunakan flash khususnya pada objek yang sangat dekat (lebih dekat dari 10-30 cm), penerangan objek dapat dilakukan dengan mengarahkan objek pada sumber cahaya (kalau benda tak bergerak dong, kalau objeknya serangga keburu kabur dah), menggunakan senter atau lampu baca.

  7. Menggunakan mode aperture priority (bukaan lensa) lebar/nilai f rendah, ISO (sensifitas sensor kamera terhadap cahaya) rendah dan shutter speed relatif tinggi. Maaf ya pembaca, khususnya kepada fotografer pemula, tips terakhir ini memang relatif sulit tapi akan gampang apabila benar-benar minat fotografi heheheehh… Mudah-mudahan niat saya membuat artikel tentang ketiganya dapat terwujud, amiinnn. Kalau sudah memahami ketiganya berarti bukan fotografer pemula lagi loh ^,^
Beberapa Hasil Karya Foto Makro Penulis
13387713891725647660
1. A Tribute To Kompasiana
1338823755275549869
2. The Nest







1338771061942492733
3. Wuihh Aisyah…
1338823845281595233
4. Fresh Blueberry Nata De Coco Basil Seed5. Fresh Strawberry Nata De Coco Basil Seeds
13388262571059101826
5. Fresh Strawberry Nata De Coco Basil Seeds






13387702642016477662
6. Jamur Tiram (Pleurotus sp)
13388241021814041154
7. Botol-Botol
13387703371481954890
8. Kontaminasi Ragi pada Permukaan Lembaran Nata De Coco
13387704711843543428
9. Kelebihan foto ini adalah adanya akar di sebelah kanan atas yangmenyeimbangkan komposisi foto
13387705961896170894
10. Bola-Bola Air
13387706831562011513
11. Gerombolan Jamur Tiram
1338770735342242723
12. Belum Tau Nama Jamurnya
1338770777341208870
13. yang ini juga T.T
1338770837677071661
14. A Little Beatiful Flower
1338773295139332856
15. Ada yang tahu ini bunga apa?
1338773390406992684
16. Mencoba Menjelaskan Sesuatu
133877088873551960
17. Resiko Hunting Foto di Hutan >.<
133877093854651083
18. Triple Hit (Jangan Terpaku pada Teknik Rule of Third)
13387710011135880783
19. Hayoo… siapa buaya heheheh







Yahhh begitulah pembacaa, sebenarnya hobi fotografi ini adalah hobi yang relatif mahal loh. Hiks.. entah kapan saia punya kamera DLSR berikut aksesorisnya, T_T
Foto-foto di atas menggunakan kamera D1000, Compact dan HP. Saat ini saya ngandalin N73 yang kualitasnya oke banget

Mengenal Mode Pengaturan Pada Kamera Digital


  - Mode Pemotretan apa yang sering Sobat gunakan? Menurut satu sumber yang telah melakukan survei terhadap pengguna kamera terutama para fotografer pemula, mode pemotretan Auto atau otomatis merupakan satu pengaturan yang paling banyak digunakan. Hasil survei ini memang tidak mengejutkan mengingat target survey adalah para fotografer pemula, tetapi jangan salah banyak orang yang telah lama menggunakan kamera masih tetap bertanya 'Apakah ada mode pemotretan selain otomatis?'

Kali ini kami akan membahas beberapa mode pemotretan dasar yang dimiliki oleh kamera digital pada umumnya (baik itu DSLr atau kamera saku). Informasi ini bisa dikatakan memang teknik dasar pada fotografi khususnya penggunaan kamera, tetapi kami berharap artikel ini berguna bagi Sobat yang memang sedang memulai dunia fotografinya, dan mulai meng-eksplore mode pemotretan selain otomatis.

Mode Otomatis

Mode AUTO

Kami kira tidak perlu membicarakan panjang lebar tentang mode pengaturan AUTO (otomatis), mengingat hampir semua kamera digital memiliki fitur ini. Mode AUTO menginstruksikan kepada kamera agar menggunakan 'penilaian' terbaik dalam menentukan Shutter Speed, Aperture, ISO, White Balance, Fokus serta flash untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Beberapa kamera digital masih tetap memberikan kendali pada flash serta Red Eye Reduction dalam pengaturan AUTO. Mode pengaturn ini tentunya akan memberikan hasil yang relatif baik pada kebanyakan situasi dan kondisi, tetapi harap diingat Sobat butuh untuk memberitahu kamera informasi tambahan tentang jenis pemotretan yang akan diambil, sehingga hasil foto bisa sesuai dengan apa yang Sobat inginkan. Merujuk pada pernyataan tersebut, maka dibawah ini merupakan beberapa mode pengaturan kamera otomatis yang bisa memberi instruksi pada kamera tentang foto yang Sobat inginkan.

Mode Portrait


Ketika Sobat memilih mode Portrait, maka kamera kalian akan secara otomatis memilih menggunakan Aperture atau bukaan besar (bilangan kecil) yang nantinya akan menghasilkan foto dengan background tidak fokus atau blur (contoh: atur ke Depth of Field sempit, hal ini akan memastikan subyek satu-satunya yang terfokus dan merupakan pusat perhatian dari sebuah foto). Mode Portrait bekerja maksimal ketika kalian memotret satu subyek dengan jarak yang cukup dekat (baik itu dengan zoom atau mendekat), dan jika Sobat memotret di bawah matahari cerah, kalian bisa menggunakan flash untuk menambahkan cahaya pada bagian wajah subyek.

Mode Macro

Pengaturan Mode Macro membuat kalian bisa memotret lebih dekat kepada subyek guna memotret secara close-up. Sangat cocok untuk memotret bunga, serangga atau obyek kecil lainnya. Setiap kamera digital biasanya memiliki kemampuan yang berbeda juga, termasuk jarak fokus (biasanya antara 2 sampai 10cm untuk kamera saku). Fokus akan terasa sulit untuk didapatkan ketika Sobat menggunakan mode Macro ini, karena Depth of Field yang digunakan sangat sempit. Jagalah kamera dan obyek yang dipotret separalel mungkin, atau jika tidak Sobat akan sulit menemukan fokus. Pada pemotretan makro kemungkinan besar Sobat tidak akan menginginkan menggunakan flash Built-in yang ada pada kamera, karena akan menghasilkan foto yang terlalu terang (over exposure). Tripod sangat berperan penting dalam pemotretan makro, karena Depth of Field yang digunakan sangatlah kecil, bahkan sebuah gerakan kecil dari subyek bisa mengakibatkan gambar tidak fokus.

Mode Landscape

Mode pemotretan ini bisa dikatakan adalah kebalikan dari mode Portrait, dimana pengaturan mode Landscape memberikan Aperture kecil (bilangan besar) untuk memastikan sebanyak mungkin bidang potret akan terfokus (Depth of Field lebar/besar). Ideal untuk memotret di ruang terbuka seperti alam bebas, terutama untuk Point of Interest (PoI) yang memiliki jarak yang berbeda dari kamera. Pada mode pemotretan ini kemungkunan besar kamera juga akan memiliki Shutter Speed lebih lambat (untuk menyeimbangkan dampak dari aperture kecil), jadi pertimbangkan untuk menggunakan Tripod atau cara lain agar memastikan kamera tidak bergerak.

Mode Sports

Memotret obyek yang bergerak adalah fungsi utama dari mode Sports (pada beberapa kamera disebut dengan 'mode action'). Mode Pemotretan ini ideal pada setiap obyek yang bergerak seperti orang yang berolahraga, binatang, mobil dan lain-lain. Mode Sports memungkinkan untuk 'membekukan' action dengan meningkatkan Shutter Speed. Ketika memotret subyek yang bergerak cepat, Sobat juga bisa meningkatkan peluang merekam gerakan dengan menggunakan teknik Panning untuk mendapatkan efek blur.

Mode Night

Mode ini dirasa akan sangat menyenangkan untuk digunakan dan bisa membuat foto kaya warna yang menarik. Mode Night (tekniknya bisa disebut dengan 'slow shutter sync') digunakan pada pemotretan dengan kondisi rendah cahaya (low light), dan menggunakan shutter speed yang lebih lama pada kamera untuk membantu merekam detail background tetapi juga bisa menggunakan flash untuk memberikan cahaya pada foreground (subyek). Jika Sobat ingin benar-benar menggunakan mode pemotretan ini, maka gunakannlah Tripod jika tidak maka background akan tampak blur, tetapi memungkinkan juga memotret dengan tangan kosong ketika kalian memang menginginkan blur pada BG.

Mode Movie

Fitur mode ini merupakan 'perluasan' dari kemampuan kamera dari hanya mengambil gambar menjadi merekam gambar gerak. Kamera digital saat ini rata-rata sudah dilengkapi dengan mode Move yang bisa merekam baik itu visual maupun audio. Kualitas video pada beberapa kamera digital memang tidak setara dengan standar kamera video, tetapi mode ini memang berguna seklai ketika kalian menemukan subyek yang 'sempurna' untuk diambil menggunakan video. Satu hal yang perlu diingat adalah dengan merekam gambar bergerak atau video akan mengambil space atau ruang memori yang lebih besar daripada foto.
Mode pemotretan lain yang biasanya ada pada kamera digital adalah:

  • Mode Underwater: Fotografi bawah air memiliki tingkat kesulitan tersediri dalam mendapatkan exposure
  • Mode Kids and Pets: Untuk memotret obyek yang bergerak relatif cepat, mode ini sepertinya akan mengingkatkan Shutter SPeed dan mengurangi shutter lag menggunakan pre fokus.
  • Mode Indoor: Membantu dalam pengaturan Shutter Speed serta White Balance
  • Mode Beach: Digunakan pada saat memotret pada kondisi cahaya terang (siang hari terik)
  • Mode Fireworks: Digunakan untuk memotret kembang api
  • Mode Panoramic: Digunakan untuk memotret pemandangan panoramic yang pada nantinya akan digabungkan menjadi satu gambar.
  • Mode Foliage: Meningkatkan/meninggikan saturasi warna.

Mode Semi Otomatis

Mode Aperture Priority (A atau AV)

Kami pernah membahas tentang Mode ini di artikel sebelumnya, memang mode Aperture Priority bisa dikategorikan pada semi otomatis, dimana Sobat bisa memilih Aperture dan kamera akan memilih pengaturan yang lain (Shutter Speed, White Balance, ISO, dan lain-lain) guna mendapat exposure yang tepat. Mode Aperture Priority akan sangat berguna pada saat kalian menginginkan kendali pada Depth of Field (biasanya subyek tersebut diam dan kalian tidak butuh pertimbangan shutter speed). Memilih Aperture dengan bilangan besar berarti Sobat akan mendapatkan Aperture/Bukaan yang lebih kecil dan cahaya yang masuk juga akan semaki sedikit. Hal tersebut berarti juga kalian kan mendapatkan Depth of Field lebar (sebagian besar foto akan terfokus), tetapi kamera akan mendapatkan Shutter Speed yang lebih lama. Bilangan kecil berarti kebalikannya (contoh: aperture besar maka Depth of Field juga akan kecil dan kamera kemungkinan besar akan memilih shutter Speed yang lebih cepat).

Mode Shutter Priority (S atau TV)

Mode pemotretan ini sangat mirip dengan Aperture Priority, tetapi bedanya adalah pada mode ini Sobat memiliki kendali penuh pada Shutter Speed, dan kamera akan menangangani sisa pengaturan yang lain. Sobat bisa menggunakan mode Shutter Priority jika ingin kendali penuh terhadap Shutter Speed, contohnya ketika memotret obyek yang bergerak (olah raga), tentunya Sobat ingin mendapatkan Shutter Speed yang cukup cepat untuk membekukan gerakan atlet. Dilain sisi, mungkin sobat lebih menikmati merekam gerakan dalam bentuk blur seperti air terjun, maka cobalah menggunakan shutter speed yang lebih lambat. Shutter Speed lambat juga bisa digunakan pada saat kondisi rendah cahaya.

Mode Program (P)

Beberapa kamera digital memiliki mode prioritas ini dalam melengkapi fitur otomatis. Mode Program hampir mirip dengan AUTO, pada kamera yang memiliki Mode AUTO dan Program, mode Program memberikan sedikit kendali atau kontrol terhadap beberapa fitur kamera seperti flash, White Belance, ISO, dan lain-lain. Periksa buku manual kamera digital kalian untuk lebih jelasnya, dan yang bisa digaris bawahi adalah Mode Program memeiliki beberapa perbedaan dengan AUTO.

Mode Full Manual

Mode Manual

Sobat memiliki kendali dan kontrol penuh dalam fitur ini, dan kalianlah yang menentukan semua parameter pengaturan seperti Shutter Speed, Aperture, ISO, White Balance, dan lain-lain. Mode ini memberikan fleksibilitas pengaturan yang kalian gunakan dalam memotret. Tentu sobat harus mengetahui apa yang dibutuhkan kenapa menggunakan mode Manual, sama seperti alasan-alasan diatas untuk menggunakan salah satu mode prioritas.

Rahasia Wudhu

Pernahkah kita memikirkan mengapa Allah memerintahkan umat Islam untuk berwudhu sebelum mendirikan sholat lima waktu? Mengapa Rasul dan sahabatnya selalu berusaha untuk menjaga wudhunya? Di dalam ajaran Islam sebenarnya banyak hal ibadah yang terlihat sederhana dan mudah dilakukan ternyata memiliki manfaat yang luar biasa bagi kesehatan jasmani dan rohani, contohnya adalah wudhu.
Wudhu dan Kesehatan Jasmani
Wudhu ternyata memiliki manfaat yang sangat besar bagi kesehatan. Hal inilah yang dibuktikan oleh Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan neurolog asal Austria yang menyatakan bahwa wudhu mampu merangsang pusat saraf dalam tubuh manusia. Hal ini disebabkan karena  keselarasan air wudhu dan titik-titik saraf sehingga kondisi tubuh akan senantiasa sehat.
Ulama fiqih juga menjelaskan bahwa wudhu juga merupakan upaya untuk memelihara kebersihan. Daerah yang dibasuh dengan air wudhu seperti tangan, daerah muka, dan kaki merupakan bagian yang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing, termasuk kotoran. Oleh karena itu, daerah tersebut harus dibasuh untuk menghindari penyakit kulit yang umumnya sering menyerang permukaan kulit yang terbuka dan jarang dibersihkan seperti sela-sela jari tangan, kaki, dan belakang telinga.
Berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa munculnya penyakit kulit disebabkan oleh rendahnya kebersihan kulit. Untuk itulah orang yang memiliki aktivitas padat terutama di luar ruangan disarankan untuk selalu membasuh dan mencuci anggota badannya yang terbuka seperti kepala, muka, telinga, tangan dan kaki.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Salim terungkap bahwa wudhu dengan cara yang baik dan benar akan mencegah seseorang dari berbagai penyakit. Muhammad Salim juga menganalisis masalah kesehatan hidung dari orang-orang yang tidak berwudhu dengan orang yang berwudhu secara teratur selama lima kali dalam sehari untuk mendirikan shalat. Salim mengambil zat dalam hidung pada selaput lendir dan mengamati beberapa jenis kumannya. Berdasarkan analisisnya, lubang hidung orang-orang yang tidak berwudhu memudar dan berminyak, terdapat kotoran dan debu pada bagian dalam hidung, serta permukaannya tampak lengket dan berwarna gelap. Sedangkan orang-orang yang teratur dalam berwudhu, permukaan rongga hidungnya tampak cemerlang, bersih, dan tidak berdebu.
Mokhtar Salem dalam bukunya “Prayers a Sport for the Body and Soul” menjelaskan bahwa wudhu dapat mencegah kanker kulit. Jenis kanker ini banyak disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang setiap hari menempel dan terserap oleh kulit. Apabila dibersihkan dengan air (terutama saat berwudhu), maka bahan kimi tersebut akan larut bersama air. Selain itu, wudhu juga dapat membuat seseorang menjadi tampak lebih muda.
Sejarah hidup Rasulullah seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Husein Haykal dalam bukunya “Hayatu Muhammad”, Rasullah sepanjang hidupnya tidak pernah menderita sakit kecuali saat sakaratul maut hingga wafatnya. Wudhu dengan cara yang benar dapat mencegah berbagai penyakit dan inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah senantiasa menyarankan para keluarga dan sahabatnya untuk menjaga wudhu.
Wudhu dan Kesehatan Rohani
Rasulullah bersabda: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu mereka.” (HR. Muslim no. 249).
Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu atau bersama akhir tetesan air wudhu. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu atau bersama tetesan akhir air wudhu, hingga ia selesai dari wudhunya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).
Wudhu mencapai aspek kejiwaan dan hikmah yang tertinggi dari aktivitas membasuh sejumlah anggota wudhu. Dengan membasuh muka, berharap wajah terlindungi dari dosa yang dilakukan mata. Ketika membasuh tangan, berharap tangan terjaga dari dosa yang belum dilakukan dan dibersihkan dari kekhilafan yang dilakukan di masa lalu. Saat mengusap kepala, berharap agar pikiran mereka terlindungi dari pikiran-pikiran yang tidak syar’i. Ketika membasuh telinga, semoga hal itu dapat menghapuskan dosa yang dilakukan oleh telinga. Dan ketika membasuh kaki, berdoa agar Allah senantiasa membimbing agar tet`p berada di jalan yang lurus (Islam).
Semoga kita tetap istiqomah untuk menjaga wudhu sepanjang hari serta memelihara kesucian hati, jiwa, lisan, dan seluruh tubuh.
Wallahu ‘alam.

Kamis, 20 September 2012

Mengganti, Mengupgrade Memory Laptop

memory laptopBagaimana cara mengganti memory laptop? Bagaimana cara upgrade memory laptop?Itulah dua inti masalah yang sering muncul. Tidak mudah untuk mengerjakan hal ini, mengingat bahwa casing laptop lumayan ramping dan isinya sangat padat. Jadi dengan demikian prosesnya sedikit rumit dan harus dikerjakan dengan hati-hati. Pada artikel ini kita akan membahas kedua hal itu sekaligus yaitu cara mengganti dan mengupgrade memory laptop.
CATATAN :
  1. Sebelum membeli memory, pastikan Anda tahu persis memory yang akan Anda beli. Artinya specification yang bagaimana yang didukung oleh Motherboard laptop Anda.
  2. Oleh karena itu bacalah terlebih dahulu petunjuk tentang memory laptop yang ada pada manual book laptop Anda.
  3. Pada umumnya laptop menggunakan modul memory SODIMM.
  4. Jika Anda ragu menentukan memory yang akan dibeli, catatlah merk dan nomor seri laptop Anda dan perlihatkan kepada penjual laptop. Mereka akan memberi tahu model upgrade memory laptop Anda.
Kita andaikan Anda telah membeli sebuah memory yang lebih besar sehingga dengan mengganti memory lama Anda sekalian mengupgrade memory yang lebih besar. Dalam contoh ini saya menggunakan salat satu tipe laptop Toshiba yaitu Satellite 1625CDT. Inilah langkah-langkahnya cara memasang memory laptop ;
  1. Bukalah bateray laptop agar aman dari adanya listrik ketika Anda bekerja. Perhatikan dengan baik prosedur membuka bateray laptop karena ada beberapa yang melindungi bateray dengan dua pengunci. Letak dari bateray juga bisa berbeda pada tiap laptop. Pada umumnya berada dibelakang.membuka bateray laptop
  2. Buka sekrup cover penutup memory pada bagian bawah casing laptop. Lokasi memory setiap laptop sangat bergantung pada tipe laptop tersebut, demikian pula covernya. Jika Anda tidak yakin, lihat kembali buku manualnya, atau bertanyalah kepada orang lain yang punya pengalaman. Lihat gambar dibawah;membuka cover memory
  3. Modul memory dalam tiap laptop ada yang ganda dan ada yang tunggal. Jika modulnya ganda maka itu berarti bisa memasang memory 2 buah sekaligus. Dalam contoh ini laptop hanya menggunakan satu modul memory. Siapkan memory pengganti yang nanti akan dipasang. Buka pembungkus memory dengan hati-hati. cara memasang memory
  4. Buka memory lama dan pasang memory baru dengan hati-hati. Ingat! Jangan memegang bagian memory ataupun Motherboard yang bersifat penghantar listrik misalnya kaki komponen. Hal itu dapat merusak komponen karena tangan menusia juga mengandung listrik. Itu bisa membahayakan komponen  bersangkutan.cara memasang memory laptop
  5. Gambar dibawah ini menunjukkan memory yang sudah dipasang pada socketnya namun belum dikunci. Perhatikan bahwa ujung dari modul memory ada sebuah cap kacil yang biasanya untuk mengunci memory.memasang modul memory
  6. Tekan memory dengan hati-hati hingga terkunci pada tempatnya. Lihat caranya; mengunci modul memory
  7. Setelah Anda yakin semua sudah terpasang dengan benar, tutup kembali dengan cover penutup memory lalu kuatkan dengan sekrupnya. Pasang kembali bateray laptop seperti semula.
  8. Untuk melihat apakah kerja Anda berhasil silakan start komputer Anda dan setelah windows terbuka, klik kanan pada ikon [Computer] lalu pilih [Properties]. Besarnya memory akan terlihat disini.
Selamat bekerja, semoga Anda berhasil.

Kamis, 13 September 2012

Bima


PERDEBATAN DEWI SULASIKIN DENGAN SEH MADAL BAB SEJATINYA WANITA

Kisah selanjutnya seorang pandhita yang  sedang laku prihatin yaitu Ki Seh Madal  yang diceritakan sedang terlunta-lunta dalam perjalanannya keluar masuk hutan dan tidak ada tujuan dalam hatinya selalu wira-wiri kalau siyang kepanasan kalau malam Ki Seh Madal basah karena air selalu terlunta-lunta. Perjalanannya sudah sangat lama sekali dan ketika kehausan ia hendak meminta air tetapi sepanjang di jalan yang dilewati tidak mendapatkan air, ketika bertemu seseorang disuruh meminta air kepada Dewi Sulasikin dan ketika ditanya apakah yang kamu minta? Ki Seh Madal menjawab saya meminta air.
Setelah Ki Seh Madal bertemu dengan Dewi Sulasikin maka terjadilah berdebakatan yang sangat panjang sekali. Dan akhirnya dewi sulasikin menannya tentang hal sebenarnya wanita dan dijawab oleh Seh Madal hanya lafal bissmillah, sebenarnya laki-laki dan perempuan dan selanjutnya Dewi Sulasikin banyak bertanya kepada Seh Madal tentang kawruh-kawruh kasampurnan dan dengan sabarnya Seh Madal menjelasakan kepada Raja putri dari negeri Pawah. Yang ditannyakan Dewi Sulasikin mulai dari dimana tempatnya kemurahan Pangeran, dan dinama tempatnya yang menjaga ala mini, serta menanyakan dimanah tempatnya rasa mulia itu? Seh Madal dengan sabar menjelaskan kepada Dewi Sulasikin hingga ia dapat menerima dan memahami segala kawruh kasampurnan yang diajarkan oleh Seh Madal.
Berikut ini teks dan terjemahan cerita putri dari Pawah yang berdebat dengan dengan Seh Madal. Selanjutnya saya mohon maaf bila dalam menterjemahkan ada kata atau kalimat yang kurang lengkap mohon dengan dengan segala hormat kepada para pecinta sastra Jawa untuk menyempurkan, karena itu semua dari ketidak mampuan dan keterbasan saya dalam mengalihkan teks dari bahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia. Selamat membaca. Nuwun.
@@@
Ing mangke gantos Ki Sèh Madal, bantah kalihan Dèwi Sulasikin ing Pawah.
Selanjutnya berganti Ki She Madal, berdebat dengan Dewi Sulasikin dari Pawah.
Punika Bantahipun Dèwi Sulasikin Ing Pawah, Kalayan Sèh Madal.
Pupuh I
Dhandhanggula
Bismillahirrahmanirrahim
1. Ênêngêna kang agung prihatin / Ki Sèh Madal wau kang kocapa / kalunta-lunta lampahe / mêdal sangking wana gung / tan ana sinêdyèng ati / tansah awirandhungan / gènira lumaku / lamun siyang kapanasan / lamun udan Ki Madal têlês ing warih / saya kalunta-lunta //
Berdiam diri yang sedang laku prihatin, Ki Seh Madal tadi yang diceritakan, terlunta-lunta perjalanannya, keluar masuk hutan yang lebat, dan tidak ada tujuan dalam hatinya, selalu wira-wiri, dalam perjalanan, kalau siyang kepanasan, kalau hujan Ki Seh Madal basah karena air, selalu terlunta-lunta.
2. Lampahira pan sampun alami / Ki Sèh Madal tan ana cinipta / sêkul kalayan toyane / iya ingkang cumêngklung / apan arsa anginum warih / minta samarga-marga / datan antuk banyu / basane kang jinalukan / dika jaluk marang Dèwi Sulasikin / puniku sugih toya //
Perjalanannya sudah sangat lama, Ki Seh Madal tidak ada keinginan, nasi beserta `irnya, yang ia selalu dibawa, hendak minum air, meminta di sepanjang jalan, tidak mendapatkan air, bahasanya yang diminta, kamu mintalah kepada Dewi Sulasikin, itu yang kaya akan air.
3. Kawarnaa Dèwi Sulasikin / wanci enjing miyos siniwaka / kawan dasa parêkane / pan sami ayu-ayu / kadya lintang abyor ing siti / ingkang minôngka wulan / sang kusuma ayu / pangagême tan ngapaa / nyampingira wawulung dhasare mori / sêmêkan nata brôngta //
Diceritakan Dewi Sulasikin, ketika pagi hari keluar semua mengahadap, empat puluh abdinya, semua cantik-cantik, seperti bintang bersinar di tanah, yang merupakan bulan, sang kusuma putri, busananya hanya biasa, kain yang dipakai bermotif wulung, kemben raja asmara.
4. Angandika Dèwi Sulasikin / ingsun biyang dalu asupêna / katone iku mangkene / dangu gon ingsun alungguh / ula tampar ingsun tingali / dangu-dangu kang ula / têka bisa agung / angadêg kang ponang sarpa / kaya-kaya têka mulêt marang mami / aku nuli dèn untal //
Berkata Dewi Sulasikin, saya tadi malam bermimpi, kelihatannya itu seperti ini, lama sekali saya duduk, saya melihat ular tampar, lama-lama ular itu, dapat berubah besar, berdiri ular itu, seperti melilit tubuhku, saya lalu di telannya.
5. Êmban inya pan umatur aris / inggih gusti kang amindha sarpa / sayêkti jatukramane / mèsêm sang liring santun / apan uwis punagi mami / benjang yèn ingsun krama / pasthi milih kakung / tan arsa kang donya brana / karsaningsun ing donya tumêkèng akir / iku wong krama tunggal //
Pengasuh (pelayan) berkata lembut, iya gusti yang menyerupai ular, sebenarnya akan menjadi jodoh tuan putri, tersenyum sang raja putri, itu sudah menjadi kehendak saya, nanti apabila saya menikah, pasti memilih laki-laki, yang tidak suka kepada harta benda, keinginanku dari dunia hingga akhirat, dan orang menikah hanya sekali.
6. Êmban inya umatur wotsari / yèn kenginga gusti kula têdha / Ratu Bardangin kemawon / mèsêm kusuma ayu / dudu iku kang sun karsani / bênêr kang kaya sira / warnanya abagus / iya iku dadi wisa / sayêktine ora kêna dèn guroni / puniku bêbegalan //
Pengasuh (pelayan) berkata sambil menyembah, kalau diperbolehkan gusti saya minta, Ratu Bardangin saja, tersenyum sang kusuma putri, bukan itu yang saya inginkan, benar menurut dirimu, rupanya tampan, itu akan jadi racun, sebenarnya tidak dapat dijadikan guru, itu sebagai penghalang.
7. Pra parêkan tanapi sang dèwi / lagya eca sami pagunêman / kêsaru wau praptane / kyai santri kang rawuh / minta banyu linggih sarisik / ponang santri wus tuwa / warnanira bawuk / atêtêkên kayu gêrang / nulya linggih jawabe aminta warih / mèsêm sang liring sêkar //
Para abdi beserta sang dewi, sedang asik bercengkrama, tiba-tiba kedatangan, Kyai santri yang datang, meminta air dan berdiam sejenak, sang santri sudah tuwa, warnanya sangat kumel, dan memakai tokat kayu jelek, lantas duduk dan jawabnya meminta air, tersenyum sang kusuma putri.
8. Iku sapa kang anjaluk warih / biyang inya padha takonana / parêkan angrubung kabèh / ana ambêkta kayu / kang sawênèh anyangking gitik / ana kang gawa gêlagah / padha ting kêracung / kaki sira jaluk apa / anauri ki tuwa kula puniki santri / arsa anuwun toya //
Itu siapa yang meminta air, pelayan coba tanyakan, semua abdi mendatangi, ada yang membawa kayu, dan ada yang membawa tongkat/cambuk, ada yang membawa gelagah (rumput yang tinggi), semua ramai bertanya,  kakek kamu minta apa, menjawab orang tua tersebut saya ini santri, hendak meminta air.
9. Para inya sami anauri / kaki sira apa kurang toya / jaba kono banyu bae / Ki Sèh Madal sumaur / kula wau minta ing jawi / ngalèh-ngalèh tan angsal / datan darbe banyu / kinèn nuwun mring sang rêtna / sugih toya nênggih Dèwi Sulasikin / kula nulya akesah //
Semua abdi serentak menjawab, kakek kamu apa kekurangan air, diluar sana ada air, Ki Seh Madal berkata, saya tadi meminta diluar, berpindah-pindah tidak mendapatkan, tidak menpunyai air, disuruh meminta kepada sang putri, kaya air yaitu Dewi Sulasikin, saya segara pergi.
10. Angandika Dèwi Sulasikin / kêbat sira paringana toya / mêsakake têmên kuwe / kaki sapa ranipun / lawan ngêndi wismanirèki / kawula Ki Sèh Madal / wisma kula gunung / lah ta sira malêbua / Ki Sèh Madal amicorèng jroning ati / sêmune kaya-kaya //
Berkatalah Dewi Sulasikin, cepatlah kamu kasih air, kasihan sekali kamu, kakek siapa namamu, serta dimana rumahmu, saya Ki Seh Madal, rumah saya di gunung, silahkan kamu masuk, Ki Seh Madal berbicara dalam hati, kelihatannya seperti siapa.
11. Ki Sèh Madal ature aririh / tiyang gunung botên sagêd sila / ratu mas ing ngriki mawon / ya ta sang rêtna ayu / nulya salin busana adi / sarwi angêmu waspa / sang kusuma ayu / ngandika marang ni inya / angambila kursi sira dipun aglis / loro katêlu meja //
Ki Seh Madal ucapnya pelan, orang gunung tidak dapat duduk bersila, ratu mas disini saja, iya sang putri cantik, segera berganti busana yang bagus, serba kelihatan air mata, sang putri cantik, berkata kepada para abdi, ambilkan kursi segera, dua ketiga meja.
12. Ki Sèh Madal ingaturan linggih / jajar marang sang kusuma rara / munggèng kursi dhewe-dhewe / mejane munggèng ngayun / kang dhaharan kêbak cinawis / ya ta sang kusuma rara / têmbungira arum / ki tamu andika dhahar / pêpanganan pundi kang dika karsani / dene sarira kula //
Ki Seh Madal dipersilahkan duduk, sejajar dengan sang kusuma putri, duduk dikursi sendiri-sendiri, mejanya berada didepan, dan makanan semua telah tersedia, iya sang kusuma rara, ucapannya lembut, ki tamu silahkan dimakan, makanan mana yang kamu sukai, sedangkan badan saya.
13. Upamine lir bintaro kèli / sapa bisa anyandhangi ragèngwang / sayêkti jatukramane / Ki Sèh Madal umatur / kamipurun kawula gusti / kawula lênggah jajar / kalawan  sang ayu / kawula têtiyang nistha / bokmanawi kawula anênulari / dhatêng kusuma rara //
Ibarat seperti sarah hanyut, siapa yang bisa memberikan pakaian ragaku, sungguh akan jadi jodohku, Ki Seh Madal berkata, saya bersedia tuan putri, saya duduk sejajar, dengan sang putri, saya ini orang yang nista, jika saya menulari, kepada sang putri.
14. Angandika Dèwi Sulasikin / ora kaki kursi linggihana / yèn tan arsa sira mangke / lah apa cacadipun / kêlasane wus sun dhuwiti / pagene ora lênggah / sira kaki dhayuh / yèn tulus tan arsa lênggah / apa gawe kaki sira praptèng ngriki / apa sun bubrah lungkrah //
Berkata Dewi Sulasiki, tidak kakek silahkan duduk, kalau kamu tidak suka nanti, terus apa kekurangannya, tikarnya sudah saya bayar, kenapa tidak mau duduk, kakek itu tamu, kalau tetap tidak mau duduk, apa tujuan kakek datang kesini, apa saya hancurkan biar letih.
15. Ki Sèh Madal aturira manis / tiyang gunung tan sagêd asila / ratu mas ing ngriki mawon / Ki Madal malih matur / sangêt ajrih kula jajari / wangsul kusuma rara / ingkang rupi banyu / punika toya punapa / anauri sira Dèwi Sulasikin / dede banyu sumbêran //
Ki Seh Madal barkata dengan lembut, orang gunung tidak bisa duduk bersila, ratu mas saya disini saja, Ki Madal berkata lagi, saya sangat takut duduk sejajar, kembali raja putri, yang berupa air, itu air apa, menjawab Dewi Sulasikin, bukan air dari mata air.
16. Ki Sèh Madal amicorèng ati / bocah iki pan iya sêmbada / dhasare ayu rupane / tur manis têmbungipun / sasolahe karya gung brangti / sun duga sang dyah rara / yèn sinêrêk kayun / yêktinira pan sumarah / kusumèng dyah sakarsa-karsa umiring / dene sun wong wus tuwa //
Ki Seh Madal berbicara dalam hati, anak ini memang sangat layak, aslinya memang sangat cantik wajahnya, dan bagus tata bahasanya, segala tingkahnya menarik hati, saya duga pasti sang raja putri, kalau dikehendaki, sebenarnya pasti menyerah, sang putri sesuka-sukanya berkehendak, sedangkan saya orang yang sudah tuwa.
17. Ki Sèh Madal dangu datan angling / apan tansah amicorèng nala / dèn wolak-walik pikire / ewuh têmên tiningsun / bocah iki yèn sun jatèni / kawruh ingsun kang nyata / tan wande ing besuk / ing donya praptèng ngakherat / bocah iki nora wurung angrubêdi / iki kusuma rara //
Ki Seh Madal lama terdiam, dan selalu berbicara dalam hati, di bolak-balik pemikirannya, susah benar hati saya, anak ini apabila saya kasih tahu, kawruh (pengetahuan) saya yang sebenarnya, pasti di kemudian hari, di dunia sampai akherat, anak ini pasti akan jadi penghalang, ini sang raja putri.
18. Ki Sèh Madal aturira manis / gih punika datan kêna asat / sajatine dika kuwe / sipat jalal puniku / ingkang rupi banyu puniki / de kadadianira / ni mas sang lir santun / dadi otot gagêlangan / inggih daging sipate Allah sayêkti / sang dyah ngusap srinata //
Ki Seh Madal ucapnya lembut, benar itu jangan sampai kering, sebenarnya dirimu itu, sifat jalal itu, yang berupa air itu, merupakan asal kejadianmu, Ni mas sang raja putri, jadi otot gelang-gelang, iya daging sifatnya Allah sebenarnya, sang dyah mengusap sang raja.
Pupuh II
Sinom
1. Kusuma sang liring sêkar / amicorèng jroning ati / lah ragane iki baya / ingkang kêna sun ngèngèri / pirangbara ing akir / sang rêtna aris amuwus / inggih kiyai tuwan / kawula atanya malih / tuduhêna sajatine kang wanodya //
Sang raja putri yang cantik, berbicara didalam hati, ini cuma wujudnya saja, yang dapat saya ikuti, dan semoga bisa sampai akhir, sang putri ucapnya pelan, iya kyai, saya akan bertanya lagi, tunjukkan sebenarnya yang disebut wanita.   
2. Ki Sèh Madal aturira / kusuma sang liring sari / ewuh jatining wanodya / pamanggih kawula gusti / lamun kaduga inggih / yèn botên kaduga sampun / amung lapal bismilah / jatine jalu lan èstri / ya ta mèsêm kusuma putri ing Pawah //
Ki Seh Madal ucapnya, sang putri yang jelita, susah sebenarnya wanita, pendapat saya gusti, kalau sampai silahkan, kalau tidak sampai juga tidak masalah, hanya lafal bissmillah, sebenarnya laki-laki dan perempuan, tersenyum putri dari Pawah.
3. Kawula dèrèng narima / inggih tuwan tanya malih / pundi kang murah  ing dunya / tuwan kula ayun uning / kang wontên wujudnèki / yèn tan wontên dadi garuh / yèn têmên mêsthi ana / Ki Sèh Madal anauri / inggih anggèr benjang ari Jumuwah //
Saya belum paham, iya tuwan (saya) akan bertanya kembali, di mana yang murah di dunia ini, tuwan saya ingin mengetahui, yang ada wujudnya, kalau tidak ada jadi rugi, kalau yakin pasti ada, Ki Seh Madal menjawab, iya anakku besok hari jum’at.
4. Umatur sang liring sêkar / inggih tuwan kula anti / wangsul kang asih ngakerat / tuwan kula ayun uning / lawan jatine èstri / tuwan kula ayun wêruh / rupine ingkang nyata / Ki Sèh Madal anauri / inggih ni mas ing benjang ari Jumuwah //
Berkata sang putri jelita, iya tuwan akan saya tunggu, kembali yang mencintai akherat, tuwan saya ingin mengetahui, serta sejatinya perempuan, tuwan saya ingin mengetahui, rupa yang sebenarnya, Ki Seh Madal menjawab, iya Ni Mas besuk pada hari jum’at.
5. Matur malih sang kusuma / tuwan kula ayun uning / pundi tuwan kang rumêksa / ing alam tuduhna mami / lawan jatine èstri / Ki Sèh Madal aturipun / benjang ari Jumuwah / sang rêtna umatur malih / pundi tuwan puji kang tan kêna pêgat //
Bertanya kembali sang putri, tuwan saya ingin mengetahui, dimana tuwan yang menjaga, di alam tunjukkanlah saya, serta sejatinya perempuan, Ki Seh Madal ucapnya, besok hari jum’at, sang putri bertanya kembali, di mana tuwan puji yang tidak pernah putus.
6. Lawan kang asih Mukhamad / tuwan kula ayun uning / Ki Sèh Madal aturira / ing benjang dadi sawiji / ing dina Gara Kasih / sêdaya kawula tutur / lamun kusuma rara / mundhuta wontên ing ngriki / inggih iku wawêngkone ngèlmu rasa //
Serta yang mencintai Muhammad, tuwan saya ing mengetahui, Ki Seh Madal ucapnya, besok saja jadi satu, pada hari anggara kasih, semua saya jelaskan, jika sang putri, meminta ada disini, yaitu wilayahnya ilmu rasa.
7. Manawi krungu kang maca / têmahan anjêjodhèri / puniku kumpule alam / alam papat dadi siji / arwah lan insan kamil / alam ajêsam puniku / tanapi alam misal / kumpule jatine èstri / makam papat puniku mangkono uga //
Kalau terdengar yang membaca, akibatnya memalukan, itu kumpulnya alam, empat alam jadi satu, arwah dan insan kamil, alam ajesam itu, kemudian alam misal, bersatu sejatinya perempuan, makam empat itu juga demikian.
8. Makam baka kang satunggal / makam jamal kaping kalih / kumpule loro punika / makam parêk iku malih / iku jatine èstri / nanging ing pasêmonipun / makam jamingul jamak / makam jamak kang mêngkoni / iya iku kusuma jatine lanang //
Makam baka yang pertama, makam jamal yang kedua, bersatu keduanya itu, makam PAREK itu lagi, itu sejatinya perempuan, namun itu hanya isyarat, makam jami’ul jamak, makam jamak yang mengusai, ya itu tuwan sejati laki-laki.
9. Yèn gusti angraosna / martabat puniku gusti / martabat papitu ika / ingkang kadim amung katri / kang sêkawan anyar sami / umatur sang rêtnaningrum / kang kadim lan kang anyar / Ki Sèh Madal anauri / pêrbedane anèng sipat kalih dasa //
Bila gusti merasakan, martabat itu gusti, martabat ketujuh itu, yang kadim hannya tiga, yang empat semuanya baru, berkata sang putri terkasih, yang kadim dan yang baru, Ki Seh Madal anauri, perbedaanya pada sifat dua puluh.
10. Iya anèng akhodiyat / iku wujud nimas gusti / martabate iku dat / anadene ngèlmu iki / martabat sipat gusti / khakekat kalimahipun / wakidiyat punika / nur martabatira gusti / iya asma martabat tarekat ika //
Yang terdapat di akhidiyat, itu wujud nimas putri, martabatnya itu Dzat, sedangkan ilmu itu, martabat sifat gusti, hakekat kalimahnya, wahidiyat itu, nur merupakan martabatnya sang putri, iya asama (nama) martabat tarekatnya.
11. Yaiku ingkang tatiga / kang anèng martabat kadim / umatur sang liring sêkar / tuwan kula ajêng uning / rupane siji-siji / tuwan kula ajêng wêruh / Ki Sèh Madal punika / adhuh mirah kula gusti / besuk bae mênèk ngrungu kang amaca //
Yaitu yang ketiga, yang berada pada martabat kadim, berkata sang kusuma ayu, tuwan raya ing mengetahui, wujudnya satu persatu, tuwan saya ingin mengetahui, Ki Seh Madal itu, aduh pujaanku gusti, besuk saja jangan mendesak nanti ada yang mendengar ketika diucapkan.
12. Anadene ingkang anyar / kang anèng sarengat gusti / alam arwah kang patunggal / martabate iku gusti / apngal ingkang nami / sarengat kalimahipun / kang wontên sir dahana / kang duwe êroh nabadi / aluamah napsune sarengat ika //
Sedangkan yang baru, yang berada di syariat gusti, alam arwah yang pertama, itu martabatnya gusti, af’al itu namanya, syariat kalimahnya, yang berada sir (hati) api, yang mempunyai ruh nabati, aluamah nafsunya syariat.
13. Lakune gêni kewala / sipate kahar puniki / têgêse gêni punika / dudu gêni kêna mati / sipat kahar puniki / têgêse gêni puniku / iya dadine ika / dadi iman lawan tokit / lan makripat kaping sakawane Islam //
Jalannya selalu api, sifatnya kahar, artinya api itu, bukan api yang bisa mati, sifat kahar itu, artinya api itu, iya jadinya seperti, jadi iman dengan tauhid, dan makrifat yang keempat Islam.   
14. Dhikire Alloh Takallah / sipate rongpuluh gusti / pan iya sipat kadiran / muridan ngaliman iki / kayat wahdaniyati / pêncar pirang-pirang èwu / miwah kang kadya barat / dudu barat donya iki / wawêngkone iya sipat kalih dasa //
Dzikirnya Allah taala, sifatnya dua puluh gusti, yaitu sifat kadiran, muridan ngaliman itu, hayat wahdaniyat, menyebar menjadi beribu-ribu, serta yang seperti angin, bukan angin yang seperti di dunia ini, tempatnya pada sifat dua puluh.
15. Pan iya kodrat iradat / sang rêtna umatur aris / kawula ajêng wuninga / iradadnya anèng pundi / mèsêm sajroning ati / Ki Sèh Madal guyu guguk / gusti kula wus tuwa / isin têmên anglakoni / wong wus tuwa nganggo carane taruna //
Itulah kodrat iradat, sang putri berkata lembut, saya ingin mengetahui, iradanya dimana, tersenyum didalam hati, Ki Seh Madal tertawa tersengal-sengal, tuan putri saya sudah tuwa, saya malu untuk menjalani, orang yang  sudah tuwa (jangan disuruh) memakai caranya anak muda.
16. Umatur malih sang rêtna / kawula atakèn malih / inggih lêrês alam papat / karyanipun dèrèng uning / Ki Sèh Madal nauri / alam insan kamil iku / dadi ratuning sipat / amêngkoni sipat kalih / iya iku ratune sipat sêdaya //
Bertanya kembali sang putri, saya mau bertanya lagi, iya benar empat alam, hasilnya belum tahu, Ki Seh Madal menjawab, alam insan kamil itu, jadi ratunya sifat, menguasai dua sifat, yaitu ratunya semua sifat.
17. Anadene alam arwah / jumênêng ratu pribadi / parentah rasul sêdaya / alam misal kang mêngkoni / alam misal puniki / lawan ajêsam puniku / mêngkoni alam misal / alam misal amêngkoni / iku nimas kang aran alam ajêsam //
Sedangkan alam arwah, menjadi ratu tersendiri, memerintah semua rasul (utusan), alam misal yang menguasai, alam misal itu, dengan ajesam itu, mengusai alam misal, alam misal menguasai, itu nimas yang disebut alam ajesam.
18. Punika jumênêng nata / mêngkoni alam sêkalir / parentah ngèlmu sêdaya / alam misal kang mêngkoni / matur malih sang dèwi / pundi tuwan rupènipun / kula ayun uninga / rupane sawiji-wiji / alam papat punapa abeda-beda //
Itu berdiri menjadi raja, menguasai semua alam, memerintah semua ilmu (kawruh), alam missal yang mengusai, bertanya lagi sang dewi, mana tuan wujudnya, saya ingin mengetahui, wujudnya satu persatu, keempat alam apa ada perbedaannya.
19. Ki Sèh Madal angandika / wangkot têmên sira gusti / ing benjang malêm Jumuwah / wong ayu ingsun wêjangi / sêdhêng kang maca lali / kang parêkan padha turu / matur malih sang rêtna / inggih tuwan kula anti / wangsul tuwan kawula putrane sapa //
Ki Seh Madal berkata, susah benar kamu tuan putri, besok pada hari jum’at saja, wahai jelita nanti saya ajari, terburu lupa nanti yang baca, semua abdi sudah tidur, bertanya lagi sang putri, iya tuwan saya tunggu, kembali tuwan saya ini putranya siapa.
20. Ki Sèh Madal alon ngucap / kusuma sang liring sari / dening putrane sang nata / tuhu sira sang suputri / jatine sira iki / kodratulloh kang tumurun / matur kusuma rara / nadyan makatêna ugi / pêpuja tan dene botên apêputra //
Ki Seh Madal pelan berucap, sang putri yang jelita, merupakan anak dari seorang raja, sungguh benar seorang raja putri, sejatinya kamu ini, kodratullah yang diturunkan, berkata sang putri, walaupun demikian juga, saya selalu berdoa namun tidak mempunyai anak.
21. Mojar sira Ki Sèh Madal / luput tampanira gusti / turune rama andika / pan iya kalih prakawis / kang dhingin iku mani / madi kaping kalihipun / turune ibunira / ingkang dhingin iku wadi / kaping kalih maningkêm nimas ranira //
Berkatalah Ki Seh Madal, lepas juga ketampananya gusti, keturunannya bapakmu, hanya dua macam, yang pertama itu mani, madi yang keduanya, sedangkan keturunan dari ibumu, yang pertama itu wadi, yang kedua manikem nimas namanya.
22. Sawise tumurun donya / kang maningkêm dadi gêtih / wadi dadine punika / iya dadi ari-ari / anadene kang mani / iku turune ramamu / iku dadine kawah / anadene ingkang madi / iya iku kang dadi bêbungkus bocah //
Sesudah diturunkan didunia, yang (namanya) manikem jadi darah, wadi menjadi, yaitu jadi ari-ari, sedangkan mani, itu keturunan dari bapakmu, itu jadinya kawah (air ketuban), sedangkan yang (namanya) madi, yaitu menjadi bungkus bayi.
23. Umatur malih sang rêtna / gêtih lawan ari-ari / kawula ayun uninga / rupine sawiji-wiji / dadine kang sayêkti / tuwan kula ajêng wêruh / nadyan turune bapa / bêbungkus kêkawah iki / tuduhêna rupane anèng ing dunya //
Bertanya kembali sang putri, darah dan ari-ari, saya mohon penjelasan, wujudnya satu persatu, wujud yang sebenarnya, tuwan saya ingin mengetahui, walaupun itu keturunan dari bapak, bungkus kawah itu, tunjukkan waujudnya setelah didunia.
24. Ki Sèh Madal angandika / gêtih lawan ari-ari / apa tatane wong nendra / ingkang lanang anèng nginggil / nadyan turuning gusti / pasthi yèn mumbul mandhuwur / turune ibunira / apa tatane kang dhingin / anèng ngandhap ora bisa angambara //
Ki Seh Madal berkata, darah dan ari-ari, apa kebiasaan orang tidur, laki-laki berada diatas, waulupun keturunan dari gusti, pasti kalau terbang keatas, keturunan dari ibumu, apa kebiasaan yang pertama, berada dibawah tidak bisa terbang (berkelana).
25. Umatur malih sang rêtna / dadine kang ari-ari / kawula arsa wuninga / miwah dadine kang gêtih / rupane kang samangkin / tuwan kula ajêng wêruh / dadine kang kêkawah / yèn tan wêruh aniwasi / dadi kharam ing dunya têkèng ngakerat //
Bertanya lagi sang putri, ari-ari jadi apa, saya ingin tahu, serta jadinya darah, wujudnya yang sekarang, tuwan saya ingin mengetahui, jadinya kawah, kalau tidak mengerti percuma, jadi haram di dunia sampai akhirat.
Pupuh III
Asmaradana
1. Puniku ngèlmu kang dadi / nyatane ngèlmu punika / dudu johar jisim mangke / dudu nyawa dudu suksma / pan dudu uripira / dèn awas sira ing ngèlmu / sadatira lagi ora //
Itu ilmu (kawruh) yang sudah jadi, kenyataan ilmu itu, bukan johar jisim sekarang, bukan nyawa bukan suksma, dan bukan hidupmu, dan kamu harus waspada pada ilmu, syahadatmu sedang tidak ada.
2. Gurokêna kang sayêkti / lagi sira tanpa bapa / miwah tanpa ibu mangke / puniku ingaran sadat / sadatira duk nora / lawan pamuwusirèku / iku ingaranan sahadat //
Bergurulah yang benar, sedangkan kamu tanpa bapak, serta tanpa ibu sekarang, itu yang disebut syahadat, syahadatmu ketika tidak ada, serta ucapanmu, itu yang disebut syahadat.
3. Miwah gonira ing nguni / dèn sami pagurokêna / tan beda rêke surupe / apan waktunira ana / awasna dèn sanyata / puniku pangawruh ingsun / pamêjang ingsun mring sira //
Dan tempatmu dahulu, harus kamu tanyakan kepada guru, tiada berbeda jangan salah melihat, sebab waktumu ada, lihatlah dengan sesungguhnya, itu pengetahuanku, pembelajaranku padamu.
4. Iku gaibing wong singgih / ujar iku linarangan / nyata gustiningsun anggèr / puniku dipun waspada / pan gaiping pandhita / lah bêcik gurokna iku / ing tatrape dipun awas //
Itu gaibnya orang yang bersungguh-sunguh, sabda (kata) ini dilarang, sungguh kamu adalah tuwan saya, itu harus hati-hati, dan gaibnya pandhita (orang suci), lebih baik bergurulah, yang tepat dan berhati-hati.
5. Apa maning aran jisim / jisim iku aran sadat / kang suksma lah iku mangke / ing sipatira duk nora / iku sira wêruha / awasêna kang satuhu / iku wangsiting pandhita //
Apalagi yang disebut jisim, jisim itu disebut syahadat, dan suksmalah itu sekarang, didalam sifatmu ketika belum ada, itu harus kamu ketahui, lihatlah dengan sebenarnya, itu pesannya orang suci (pandhita).
6. Aja sira milang jisim / aja tungkul marang têmbang / miwah ing sipate mangke / aja sira ngucap iman / tokit lawan makripat / puniku kasasar agung / katungkul ing dat lan sipat //
Janganlah kamu menghitung jisim, jangan takluk pada lagu, serta pada sifatnya sekarang, jangan kamu mengucap iman, tauhid serta makrifat, itu keliru besar, takluk pada Dzat dan sifat.
7. Lagi sira tanpa jisim / dèn awas sira tumingal / awasêna padha mangke / iku mêrtapa ngagêsang / sampurnane kasedan / lagi tanpa jasad iku / puniku pagurokêna //
Sebelum kamu tanpa jisim, waspadalah kamu pada penglihatan, ketahuilah saat sekarang, itu bertapa (tirakat) pada kehidupan, sempurnanya mati (meninggal), serta tanpa jasad ini, itu tanyakanlah pada ahlinya.
8. Iku gaibing wong luwih / kang kinèn awas ing solah / pilih ingkang têkèng kono / upayanên kang sanyata / poma pagurokêna / jatine awas ing ngèlmu / ingaran sadat sakarat //
Itu gaibnya orang punya kelebihan, dan disuruh waspada pada perbuatan, memilih yang yang dari sana, carilah yang sengguhnya, bila perlu bergurulah, sebenarnya waspada terhadap ilmu (kawruh), yang disebut syahadat sakarat.
9. Yèn arsa wêruha sami / ulihêna tingalira / duk anèng ing dalêm mangke / jroning wêtêng biyangira / pujinira samana / ingaran sadat puniku / apa sandhang panganira //
Bila hendak mengetahui semua, kembalikanlah penglihatanmu, ketika dalam keadaan sekarang, didalam perut ibumu, doamu dahulu, disebut syahadat itu, apakah  sandang panganmu (kebutuhan hidup jasmani).
10. Puniku ingaran ngèlmi / prayogane kawruhana / naptu gaip ingarane / dèn awas pagurokêna / sasmitane pandhita / dèn sampurna awasipun / sapolahe wong sêmbahyang //
Itu yang disebut kawruh (pengetahuan), sebaiknya ketahuilah, yang disebut hari gaib, waspada (serta) bergurulah (tanyakan pada ahlinya), pesan (tanda-tanda) dari Pandhita (orang suci), harus sempurna kewaspadaanmu,segala tikah/gerak orang sembahyang.
11. Yèn awas pituduh iki / nora wuninga ing salat / miwah sadat sêkarate / nora wuninga ing sêmbah / iku padha takokna / yèn sampun awas ing ngriku / muliha duk lagi nora //
Jika waspada pada petunjuk ini, tidak mengetahui di dalam  sholat, serta syahadat sakaratnya, tidak mengetahui di dalam sembah, itu semua tanyakan, jika sudah waspada disitu, kembalilhah sebelum menginginkan.
12. Singgahana marga kang sirik / dohana marga kang sasar / rahayua salawase / dèn awas ing paranira / iya panggonanira / pan iya dulu-dinulu / duk durung ing badan nyawa //
Mampirlah di jalan yang syirik, jauhkanlah jalan yang salah, selamatlah selamanya, waspadalah pada arah tujuanmu, yaitu tempatmu, yaitu saling memperhatikan, sebelum  badan (ini) bernyawa.
13. Lah ing ngêndi ingkang angèksi / dudu ta biraènira / sira pagurokna mangke / salat daim ukumana / poma sira takokna / duk lare sira puniku / iya iku ngèlmunira //
Dan dimanakah yang melihat, bukanlah nafsumu, kamu tanyakan pada ahlinya sekarang, sholat daim pelajari hukumnya, bila kamu tidak mengerti tanyakanlah, ketika masih anak-anak kamu itu,  yaitu pengetahuanmu (kawruhmu)
14. Titine suluk puniki / elinga mring kang utama / nablègakên ing patine / dèn awas sira tumingal / sajatine sampurna / ulatana dèn katêmu / êndi nyawa êndi suksma //
Telitilah suluk ini, ingatlah pada yang utama,  menyerahkan pada matinya, waspadalah kamu dalam melihat, sejatinya sempurna, perhatikan supaya ketemu, mana nyawa dan mana suksma.
15. Upamane mirah adi / êmbanira padha mirah / yèn êmas iku êmbane / kurang utama kang mirah / sajatine sarira / ingkang mirah paminipun / iku pêpadhane suksma //
Ibaratnya berlian yang bagus, pengikatmu juga berlian, jika emas itu pengikatnya, kurang bagus berlianya, sebenarnya badan/raga, yang (merupakan) berlian umpamanya, itu sederajat (dengan) sukma.
16. Ya êmas pêpadhane jisim / mirah môngka sêjatinya / sarira jati uripe / pan nora kêlawan nyawa / muwus datanpa lidhah / ngrungu nora karna iku / tumingal nora lan netra //
Jika emas sederajat (dengan) jisim, sedangkan berlian itu sebenarnya, badan/raga sejati hidupnya, dan tidak dengan nyawa, mengucap tanpa lidah, mendengar tanpa telingan, melihat tidak dengan mata.
17. Dene ingkang jisim iki / kinarya êmbanan mulya / puniku rêke sênêne / dèn eling-eling ing driya / sajatine sarira / êmbananira kang luhung / kinarya êmban kang mulya //
Sedangkan jisim ini, dibuat (untuk) pengikat yang Muliya, itu nanti bercahaya, dan ingatlah di dalam batin, sejatinya badan/raga, pengikatmu yang baik sekali,  untuk pengikat yang terbaik.
18. Yèn wêruha tata kalih / punika sapa cidraa / ingkang tunggal ing kawruhe / angliwati kang utusan / tingkahe suksma ika / ingaranan iku bêstu / uripe dèn aku Allah //
Jika mengetahui dua cara,  siapa yang akan berdusta, yang tunggal di dalam kawruhnya/pengetahuannya, yang meliwati para utusan, tingkahnya suksma itu, disebut bêstu (nyata), hidupnya diakui Allah.
19. Dene antaranirèki / kang polah lan kang pinolah / tan ana bedane mangke / tan pisah tan kumpul nyata / ewuh pambudinira / yèn sampun tumêkèng ngriku / sayêkti langkung gaibnya //
Sedangkan antaranya kamu yang polah dan yang bertingkah, tiada bedanya sekarang, tidak pisah  dan nyata tidak berkumpul, merepokat ikhtiarmu, jika telah sampai disitu, sebenarnya sangat gaib sekali.
Pupuh IV
Sinom
1. Ingkang pasthi ing larangan / tan kêna ginawe gampil / dene sira sampun awas / yèn sampun têkèng ing wèsthi / nugrahane Hyang Widi / kang sampun awas ing kawruh / rasane iku tunggal / tunggal urip tunggal pati / tunggal wujud Mukhamat yaiku Allah //
Yang pasti dilarang, tidak mudah dibuat gampang (disepelekan), sedangkan kamu sudah waspada, jika sudah sampai pada larangan, anugrahnya Hyang Widi, yang sudah waspada pada kawruh (pengetahuan/ilmu), rasanya itu satu,  menyatu dengan hidup (dan) menyatu dengan mati, menyatu dengan wujud Muhammad yaiku Allah.
2. Tunggale lorone tunggal / tunggale maksih kêkalih / Mukhamad yaiku Allah / Allah Mukhamad sajati / jaba jêro tan kaèksi / Mukhamad sirna kadulu / kalingan sipat kidam / waluya kadi ing nguni / iya iku sampurnane puji sêmbah //
Bersatunya keduanya bersatu, bersatunya masih ada dua, Muhammad yaitu Allah, Allah Muhammad sejati, luar dalam tidak kelihatan, Muhammad hilang tidak kelihatan, terhalangi sifat kidam, kembali seperti sediakala, yaitu sempurnanya sembah puji.
3. Poma iku dèn rêksaa / ujar linarangan iki / tan kêna ingucapêna / tanpa ngrasa iku nini / pan iku sadat jati / sampurnane ing pandulu / sampurnane paningal / ningali ingkang sajati / iya iku sampurnane rasaning dat //
Maka dari itu jagalah, ucapan yang dilarang ini, tidak boleh diucapkan, tanpa merasa Nini, itu syahadat sejati, sempurnanya terletak pada penglihatan, melihat yang sesungguhnya, yaitu sempurnanya rasanya Dzat.
4. Kang muhung ing santri ika / idhêpe tan nolih singgih / karo iku dadi sadat / tan wikan dununge puji / tan wruh Pangeran iki / panêmbahe bêstu suwung / kaliwat dènnya nêmbah / dèn sidhêp urip kêkalih / têkadipun tuna liwat bangêt sasar //
Dan hanya pada santri itu, sungguh padangannya tidak terpengaruh, keduanya itu jadi syahadat, tidak mengetahui letaknya sembah, tidak tahu Pangeran ini, yang disembah sudah pasti kosong, berlebihan dalam lenyembah, dalam sunyi hidup keduanya, tekadnya sangat keliru sekali.
5. Dèn gugu aksara ika / dèn èstokna datan gingsir / sadatipun tuna liwat / dèn puhung wartane tulis / samya nêmbah amuji / panêmbahe bêstu suwung / parêke kang utama / tan angèl  dènnya ngabêkti / satingalnya dadya puji dadi sêmbah //
Di percaya aksara itu, dipercaya dan tidak goyah, syahadanya sangat keliru, diyakini kabar yang tertulis, mudah sekali dalam berbakti, setiap penglihatanya jadi puji jadi sembah.
6. Laire pan katingalan / Mukhamad lawan Hyang Widi / dinulu parêk kawangwang / lir gêdhah isi sotya di / jaba jêro kaèksi / sirna gêdhahe dinulu / kalingan madu ika / sing pandulu kang sayêkti / sirna ilang Mukhamad kalingan sukma //
Lahirnya yang kelihatan, Muhammad dengan Hyang Widi (Tuhan), dilihat akrab seperti diawasi, ibarat kaca berisi hiasan emas yang indah, luar dalam kelihatan, hilang kacanya kelihatan, terhalangi manisnya itu, yang melihat dengan sebenarnya, hilang Muhammad terhalangi suksma.
7. Sajrone batin Mukhamad / ya Mukhamad lair batin / ya Allah batine nyata / iya batin iya lair / lir kumbane jêladri / tunggale anane banyu / iya tan kêna pêjah / tan urip tan kêna pati / urip iku anguripi ingkang pêjah //
Didalam batin Muhammad, ya Muhammad lair batin, ya Allah batinnya (yang) nyata, iya batin iya lahir, ibarat ombaknya samudra, tunggal adanya air, iya tidak boleh mati, tidak mati tidak boleh mati, hidup itu menghidupi yang mati.
8. Iku sira dèn prayitna / dèn bisa sira nampani / aja sira kumêlamar / dèn nyata sira ngawruhi / iku ingaran ngèlmi / iya iku aran rasul / kêkasihe Hyang Suksma / sajatine kang linuwih / iya iku ingakên utusaning Hyang //
Itu kamu harus waspada, harus bisa  menerima, jangan kamu sombong, diperjelas kamu mengetahui, itu yang disebut ilmu (kawruh), yaitu yang disebut rasul, kekasihnya Hyang Suksma, sebenarnya yang lebih, yaitu yang diaku utusanya Hyang (Allah).
9. Tan karuan pinangkanya / panêmbahe tan sayêkti / sabênêr-bênêring tingal / kang kupur nora nana kari / sêmbah pujine ênting / anane sirna wus lêbur / kalingan anane dat / kêlêm ananira iki / iya iku jatine kupur punika //
Tidak jelas asalnya, menyembahnya tidak tulus, sebenar-benarnya penglihatan, yang kufur tidak ada yang ketinggalan, sembah pujinya sudah habis, adanya hilang tak berbekas.
10. Jatine kapir kang nyata / kapir aluhur sayêkti / têgêse kapir punika / ora ningali kêkalih / tan uninga lyan malih / anane kawula iku / lêbur datan kaetang / wus ênting tan ana kari / kalimputan ananira ing datullah //
Sebenarnya kafir yang nyata, kafir luhur sebenarnya, artinya kafir itu, tidak melihat keduanya, tidak mengetahui lainnya, adanya hamba itu, hancur tidak terhitung, sudah habis tidak ada yang tertinggal, terhalang adanya kamu didalam dzatullah.
11. Sampurnane ing paningal / kang nyata kupur lan kapir / lawan masrik ta punika / suwung mudada sêjati / kang têkèng Allah iki / iku kang minôngka wuwus / têgêse kupur ika / lawan kapir dèn kawruhi / yèn ora wruh sira lagi sasêlaman //
Sempurnanya pada penglihatan, yang nyata dan kafir, serta musyrik itu, kosong mlopong sebenarnya, yang dari Allah, itu yang merupakan ucapan, artinya, kufur itu, serta kafir harus diketahui, bila kamu tidak tahu sedang bersalaman.
Pupuh V
Dhandhanggula
1. Yèn mangkono katarima ugi / yèn ta sira tan guru alêman / tan sumêngguh kèh alane / kawruhana sêdarum / mukmin lanang lan mukmin èstri / lan dadine sakarat / lêlima kèhipun / pasthi katêmu sadaya / wong sêkarat lamun sira aningali / ing cahya kang lalima //
Jika demikian diterima juga, jika kamu tanpa guru suka dipuji, jangan menyanggupi (itu) banyak jeleknya, ketahuilah semuanya, mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, dan jadinya sakarat, lima jumlahnya, pasti ketemu semua, orang sakarat jika kamu melihat, didalam kelima cahaya.
2. Lah puniku lamat puput ing janji / lamun durung ningali punika / cahya lêlima kathahe / maksih dawa kang umur / ingkang cahya awarni-warni / cêmêng abang lan jênar / ijo putih iku / lamun aningali cahya / ingkang cêmêng aglis macaa sirèki / lailaha ilallah //
Dan telah habis janjinya, bila belum melihat, kelima cahaya jumlahnya, masih panjang umurnya, cahaya yang berwana-warni, hitam merah dan kuning, hijau putih itu, jika telah melihat cahaya, yang hitam cepatlah kamu membaca, lailaha ilallah.
3. Nora nana Gusti mung Hyang Widi / lan Mukhamad ya rasulullaha / Nabi Mukhamad jatine / utusannya Hyang Agung / cahya ingkang cêmêng puniki / nênggih cahyaning setan / lamun sira dulu / marang cahya ingkang abang / pan puniku cahyane setan mardudi / nuli sira macaa //
Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasulullah, Nabi Muhammad sebenarnya, utusannya Allah, cahaya yang hitam itu, sebenarnya cahayanya setan, jika kamu melihat, pada cahaya yang merah, itu cahayanya setan mardudi, segara kamu membaca.
4. Lailaha ilallaha malih / ya Allahu têgêse mangkana / tan ana Pangeran manèh / mung Allah Ingkang Agung / ya Pangeran ingsun sajati / yèn aningali sira / kuning cahyanipun / puniku cahyaning setan / ingkang aran iya setan nasarani / nuli sira macaa //
Lailaha ilallaha lagi, ya Allahu, artinya demikian, tidak ada Tuhan lagi, hanya Allah yang Agung, ya Pangeran saya yang sebenarnya, jika kamu melhat, cahaya yang berwarna kuning, itu cahayanya setan, yang disebut setan nasrani, segera kamu membaca.
5. Lailaha ilallohu malih / uhu iku têgêse mangkana / tan ana Pangeran manèh / amung Allah Kang Agung / ya Pangeran ingsun sajati / kalamun sira miyat / ijo cahyanipun / puniku kang darbe cahya / Jabarail nuli macaa sirèki / mangkene kang winaca //
Lailaha illahu lagi uhu itu artinya demikian, tidak ada Tuhan lagi, hanya Allah yang Agung, Pangeran saya yang sebenarnya, jika kamu melihat, hijau cahayanya, itu yang memiliki cahaya, Jibril segera kamu mambaca, seperti ini bacaannya.
6. Ya takobalahu lawan malih / uhu iku têgêse kang nyata / muga narimaa mangke / Allah Kang Maha Agung / ya Alloh Ingkang Maha Suci / uhu kang kaping tiga / têgêse puniku / uhu kang murbèng jagad / apan karya salire ingkang dumadi / prayuga tanpa rowang //
Ya taqoballahu dan lagi, uhu itu arti yang sebenarnya, semoga nanti menerima, Allah Kang Maha Agung, ya Allah Yang Maha Suci, uhu yang ketiga, artinya itu, uhu yang mengusai alam semesta, yang menciptakan seluruh makhluk, sendiri tanpa pembantu.
7. Lamun eling sahadat puniki / nalikanya cahya irêng têka / wong mukmin pasèk arane / lamun lali wong iku / ing sahadat kang kocap dhingin / ing cahya irêng têka / kapir patinipun / aran kapir jahiliyah / poma-poma dèn rosa sami adhikir / anyiptaa Hyang Suksma //
Jika ingat syahadat ini, ketika cayaha hitam datang, orang mukmin pasik (tak beragama) sebutannya, jika lupa orang itu, pada syahadat yang diucapkan pertama kali (dahulu), kitika cahaya hitam datang, kafir matinya, disebut kafir jahiliyah, sesekali perbanyaklah dzikirnya, memusatkan pikiran pada Hyang Suksma.
8. Lamun eling sahadat marêngi / cahya abang wong mati mukmin ngam / yèn lali ing sahadate / iya kang kocap iku / dadi mati kapir Yahudi / sami dipun prayitna / wong Islam puniku / dèn rosa maca salawat / lamun eling sahadat puniku singgih / cahya kuning katingal //
Jika ingat syahadat bersamaan, cahaya merah orang yang mati (disebut) mukmin ngam (asal-asalan), jika lupa pada syadatnya, yang terucap itu, jadi mati kafir yahudi, harus berhati-hati, orang Islam itu, diperbanyak membaca sholawat, jika ingat syahadat itu sungguh-sungguh, cahaya kuning kelihatan.
9. Iya iku patine wong mukmin / lamun lali ing sahadat ika / sahadat kang kocap kiye / mati kapir wong iku / ing kapire aran nasrani / sira dipun prayitna / aja lali iku / mring Allah Nabi Mukhamad / lamun eling ing sahadat kang cahya wilis / iyèku ingaranan //
Yaitu matinya orang mukmin, jika lupa pada syahadatnya, syahadat yang diucapkan, mati kafir orang itu, kafirnya disebut nasrani, kamu harus berhati-hati, jangan lupa itu, kepada Allah Nabi Muhammad, jika ingat syahadat (maka) cahaya hijau, yaitu yang dimanakan.
10. Mukmin kasusulan patinèki / lamun lali wong iku kang sadat / iya ingkang kocap kiye / mati kapir wong iku / kapir namèki / milane dèn prayitna / aja gung katungkul / kanikmatan anèng dunya / gawe limut sakèh ingkang pangabêkti / prêlu sunat tinilar //
Mukmin kasusulan matinya nanti, jika lupa pada syahadatnya, yang terucap adalah, mati kafir orang itu, kafir namanya, makanya harus berhati-hati, jangan mudah menyerah, kenikmatan di dunia, membuat lupa semua untuk menyembah, yang wajib dan sunahnya ditinggal.
11. Lamun sira mangke aningali / marang cahya ingkang langkung pêthak / nur Mukhamad iku rane / nuli macaa gupuh / hu hu yayi ing têgêsnèki / ya hu ya hu ya Allah / ya Mukhamad rasul / iku cahya langkung endah / poma-poma iku kukuhana yayi / iku mati utama //
Jika kamu nanti melihat, pada cahaya yang sangat putih, nur Muhammad itu namanya, segaralah membaca, hu hu adinda artinya, ya hu ya hu ya Allah, ya Muhammad Rasul, itu cahaya yang sangat indah, sesekali peganglah kuat-kuat adinda, itu mati utama.
12. Lamun ana wong iku ngêmasi / aningali cahya langkung pêthak / luwih utama patine / pasthi eling puniku / ing sahadat kang kocap dhingin / karanane mangkana / wajib kang satuhu / pan sayêkti yayi iya / wus dèn pasthi marang nabi kang rong kêthi / lawan patlikur nambang //
Jika ada orang meninggal, melihat cahaya sangat putih, lebih utama matinya, ingat-ingatlah itu, pada syahadat yang diucapkan dahulu, sebabnya demikian, wajib yang sesungguhnya, dan itu yang sebenarnya adinda, sudah dipastikan oleh Nabi yang dua ribu, serta dua puluh empat tambahnya.
Pupuh VI
Asmaradana
1. Yèn sira nêmbah amuji / pujine katur mring sapa / yèn katura Pangerane / apan datan warna rupa / lamun datan katura / tanpa gawe sêmbahipun / angur aja amujia //
Jika kamu menyembak dan memuji, pujinya diperuntukkan siapa, jika diperuntukkan kepada Pangeran, dia tidak berwarna dan berupa, jika tidak diperuntukkan, tiada guna sembahnya, lebih baik tidak memuji.
2. Lamun ngaturana puji / marang Allah sumêntana / apan dudu pêpadhane / pan iku ingkang amurba / kang masesa ing sira / dèn wêruh  wiwitanipun / kang nêmbah lawan kang sinêmbah //
Jika memberikan puji, kepada Allah semata, bukan kepada yang menyerupai, dan itula yang menguasai, dan berkuasa pada dirimu, ketahuilah asalnya, yang menyembah dan yang disembah.
3. Puji sapa kang duwèni / pan puji-pujine Allah / kawula datan andarbe / kawula ora kuwasa / miwah panggawenira / tanlèn badane sakojur / anging Allah kang akarya //
Puji/doa siapa yang mempunyai, dan puji-pujinya Allah, kawula (umat) tidak memiliki, kawula tidak berkuwasa, serta perbuatanmu, dan semua badan/raga seluruhnya, hanya Allah yang membuat.
4. Êndi aran sêmbah puji / têgêse puji punika / kanugrahan sajatine / kang tumiba ing kawula / êndi aran nugrahan / iya urip têgêsipun / ya urip-uripe sapa //
Manakah yang disebut sembah puji, artinya puji itu, anugrah sebenarnya, yang diberikan kepada hambanya, manakah yang disebut anugrah, yaitu hidup artinya, ya hidup-hidupnya siapa.
5. Lamun uripe Hyang Widi / tan urip kalawan nyawa / têgêse nyawa jatine / kang tumiba ing kawula / ingkang aran nugrahan / têgêse nugraha iku / iya uripe manungsa //
Jika hidupnya Hyang Widi, tidak hidup dengan nyawa, artinya nyawa yang susungguhnya, yang diberikan kepada hambanya, yang disebut anugrah, artinya anugrah itu, yaitu hidupnya manusia.
6. Êndi têgêse urip / wong urip angawruhana / dèn bêcik ing panrimane / angèl jênênging agêsang / têgêse gêsang ika / nastiti ingkang tatêlu / iman tokit lan makripat //
Manakah artinya hidup, orang hidup harus mengetahui, berterimakasihlah yang tulus, susah yang namanya hidup, artinya hidup itu, berhati-hati pada tiga hal, iman tauhid dan makrifat.
7. Têgêse iman lan tokit / kang iman angèstokêna / ngèstokakên Pangerane / têgêsira Allah iya / Kang Agung Maha Mulya / tan loro datan têtêlu / amung Allah mung satunggal //
Artinya iman dan tauhid, iman itu harus percaya, percaya kepada Pangeran, artinya Allah itu, Yang Agung Maha Muliya, bukan dua atau tiga, hanya Allah semata.
8. Êndi ingkang aran tokit / apan tunggal sajatinya / panglêburan ing karone / tan ana Gusti kawula / yèn tunggal kadiparan / yèn pisaha yêkti suwung / apan nora pisah tunggal //
Manakah yang disebut tauhid, sesungguhnya bersatu, melebur keduanya, tiada Gusti dan hamba, jika bersatu dimana tempatnya, jika berpisah pasti kosong, sebab bukan yang sesungguhnya.
9. Sêlamêt sira ngawruhi / têgêse tokit punika / tunggal lawan kawulane / kawula pan nora nana / pan jênênge kawula / sajati-jatine suwung / tanpa tingkah tanpa polah //
Selamat jika kamu mengetahui, artinya tauhid itu, bersatu dengan hambanya, hamba sebetulnya tidak ada, yang dinamakan hamba, sesungguhnya kosong, tiada tingkah laku.
10. Kature sêmbah lan puji / katura mring dhèwèkira / dhèwèke Allah jatine / pan nora sêmbah-sinêmbah / êndi kang aran Allah / iya pan wajibul wujud / sajatine iku ana //
Diberinya sembah dan puji, diberikan kepada dirinya sendiri, sebetulnya Allah dirinya, dan bukan saling menyembah, manakah yang disebut Allah, yaitu wajibul wujud, sesungguhnya itu ada.
11. Kang nêmbah lawan kang muji / kanyataan ing datullah / pan dudu unine dhewe / pasthi jênênge panrima / lah iku kawruhana / tanpa polah tanpa wujud / lir sarah munggèng lautan //
Yang menyembah dengan yang memuji, sesungguhnya pada dzatullah, bukan ucapanya sendiri, pasti namanya pemberian, dan itu ketahuilah, tanpa polah tanpa wujud, ibarat sampah dilautan.
12. Jênênge sêmbah lan puji / tan liyan kang panarima / tan uninga salawase / dene Pangeran Kang Mulya / duk alit têkèng tuwa / dèn bêcik panrimanipun / angèl jênênge panrima //
Namanya sembah dan puji, tidak lain hanya pemberian, tidak mengetahui selamanya, jika Pangeran Yang Muliya, dari kecil sampai tuwa, tulus dalam menerima pemberian, sulit yang namanya menerima.
Pupuh VII
Pangkur
1. Yèn sira anggêgurua / ngulatana guru ingkang sayêkti / kang sampun putus ing ngèlmu / sarengat lan tarekat / lan khakekat makripat salawasipun / lawan sira têtakona / bumi kang papitu yayi //
Jika kamu berguru, carilah guru yang sesungguhnya, yang sudah putus ilmunya, syariat dan tarekat, dan hakekat makrifat selamanya, serta kamu bertanyalah, ketujuh bumi adinda,
2. Dan langit papitu ika / dumunungna nyata nèng jroning jisim / iku sira dipun wêruh / dadi jatining manungsa / yèn tan wêruh durung Islam janma iku / pan maksih Islam-islaman / jatine wong tuwa tuli //
Dan ketujuh langit itu, letakkanlah dadalamnya jisim (raga), itu yang harus kamu ketahui, menjadi sebenarnya manusia, jika belum mengetahui belum Islam manusia itu, hanya sekedar Islam-islaman, sebenarnya orang tua yang tuli.
3. Yèn sira ayun wêruha / ingkang aran bumi pêpitu yayi / bumi kang dhingin puniku / kang aran bumi rêtna / kaping kalih ingkang aran bumi kalbu / sanubari kaping tiga / kaping pate bumi budi //
Jika kamu ingin mengetahui, yang disebut ketujuh bumi adinda, bumi yang pertama itu, yang disebut bumi retna (emas), yang kedua yang disebut bumi kalbu, sanubari itu yang ketiga, yang keempat bumi budi.
4. Bumi jinêm kaping lima . kaping nême bumi suksma puniki / bumi rasa kaping pitu / wus jangkêp pitung prakara / pan binabar têgêse bumi pêpitu / anadene bumi rêtna / ing dhadha dununge yêkti //
Bumi jinem yang kelima, yang kenam bumi suksma itu, bumi rasa yang ketujuh, sudah lengkap tujuh perkara, dengan penjelasan artinya ketujuh bumi, sedangkan bumi retna, didalam dada letak yang sesungguhnya.
5. Yaiku gêdhong kastuba / panggonane sakèhing manungsa iki / astanane Islam iku / yayi bumi satunggal / kaping kalih bumi kalbu wastanipun / iya astanane Islam / kaping tiga sanubari //
Yaitu gedung kastuba, tempatnya seluruh manusia ini, istananya Islam itu, hanya satu bumi adinda, yang kedua bumi kalbu sebutannya, iya istananya Islam, yang ketiga sanubari.
6. Iku astanane tunggal / kaping pate kang aran bumi budi / astanane pikir iku / bumi jinêm ping lima / astanane kang sayêkti sih satuhu / kaping nême bumi suksma / astananira Hyang Widi //
Itu istananya tunggal, yang keempat yang disebut bumi budi, istananya fikiran, bumi jinem yang kelima, istananya yang sesungguhnya welas asih sebenarnya, yang keenam bumi suksma, istananya Hyang Widi.
7. Kaping pitu bumi rasa / têgêsipun yaiku ingkang urip / têgêse urip satuhu / ingakên wujud Allah / dèn waspada sakèh kang padha karungu / yèn sira ayun Islama / kasmaran mangun abrangti //
Yang ketujuh bumi rasa, artinya yaitu yang hidup, artinya hidup sebenarnya, disebut wujud Allah, berhati-hatilah pada semua yang kamu dengar, jika kamu mengetahui Islam, kasmaran membangun asmara / akan tergila-gila.
Pupuh VIII
Asmaradana
1. Sira kawruhana malih / aran langit pitu ika / dèn waspada sira anggèr / dununge anèng sarira / iku ingaranan nyawa / langit jasmani puniku / tinitah marang Hyang Suksma //
Kamu ketahui lagi, sebutan ketujuh lagit itu, waspadalah kamu anakku, letaknya pada badan, itu yang dinamakan nyawa, langit jasmani itu, diperintah oleh Hyang Suksma.
2. Yayi iku kang satunggil / kapindhone kang ingaran / iku êroh sajatine / amêpêki nèng sarira / cinatur kaping tiga / langit napsani ranipun / amêpêki badanira //
Adinda itu yang pertama, yang kedua yang dinamakan,  ruh sebenarnya, memenuhi didalam badan, yang disebut yang ketiga, langit nafsani namanya, memenuhi badanmu.
3. Kaping pat langit rokhani / amêpêki ngèlmunira / ing badanira sakèhe / langit rohmani ping lima / amêpêki kang cahya / nèng badanira puniku / langit nurani kang mulya //
Yang keempat langit rohani, memenuhi pengetahuanmu (ilmu), diseluruh badanmu, langit rohmani yang kelima, memenuhi pada cahaya, didalam badanmu itu, langit nurani yang Muliya.
4. Iya iku kang mêpêki / madhêp ing badan sadaya / langit roh ilapi mangke / puniku nyatane asrah / nèng badannya sadaya / iku sira dipun wêruh / dadi mulyaning manungsa //
Yaitu yang memenuhi, menghadap diseluruh badan, langit ruh ilafi nanti, itu kenyataannya pasrah, di seluruh badannya, itu harus kamu ketahui,  menjadi manusia yang Muliya.
5. Sira kawruhana malih / ingkang aran kanugrahan / lawan nugraha jatine / nugrahan mungguh kawula / yèn nugraha Hyang Suksma / lir bêdhug iku tinabuh / têtabuhe kanugrahan //
Kamu ketahui lagi, yang disebut ke-Muliyaan, serta sebenarnya anugrah, keistemewaan letaknya pada hamba, sedangkan anugrah Hyang Suksma, ibarat bedug ditabuh, pemukulnya ke-Muliyaan.
6. Unine nugraha jati / kang nabuh manungsa mulya / ingkang mantêp panrimane / wong pana tigang prakara / antuk jênêng manungsa / iku janma kang linuhung / wong cêngêng marang Pangeran //
Bunyinya anugrah yang sejati, yang menabuh manusia Muliya  (suci), yang ikhlas menerima, orang (yang) terang pada ketiga perkara, mendapat nama manusia, itu manusia yang utama/dihormati, orang mengetahui kepada Pangeran.
7. Iku salat kang sajati / wong pana tigang prakara / lir toya mili sêmbahe / yogya sami ngawruhana / pan iku printahing Hyang / sirna luluh kang tinêmu / labête wus wujut tunggal //
Itu sholat yang sejati, orang yang terang pada ketiga perkara, ibarat air mengalir sembahnya, pantas untuk diketahui, dan itu perintahnya Hyang, hilang tak berbekas yang didapati, pengabdiannya sudah bersatu.
8. Lawan kawruhana malih / siksa kubur dèn waspada / apa kang siniksa mangke / apa kulit dagingira / apa ta badan nyawa / balung roh datullah iku / kang jasat manut kiwala //
Serta ketahui kembali, siksa kubur berhati-hatilah, apa yang disiksan nanti, apa kulit dagingingmu, apakah badan nyawa, tulang ruh dzatullah itu, raga itu hanya menurut.
9. Badan sakojur puniki / lir sarah munggèng lautan / tumindak lan nugrahane / yêkti pan drêma kewala / mobah musiking suksma / ing saparan-paran anut / tan darbe polah priyôngga //
Seluruh badan ini, iabarat sampah dilautan, perbuatan dan anugrahnya, sebenarnya hanya sekedar saya, bergerak kendaknya suksma, sekehendaknya menurut, tidak mempunyai kehendak sendiri.
10. Ingkang dipun siksa nênggih / dudu jasat dudu nyawa / dudu suksma sajatine / dudu rasa kang siniksa / yêktine apan iya / sipatulloh kang tumimbul / kang jasat anut kiwala //
Yang disiksa sesungguhnya, bukan jasad bukan nyawa, bukan suksma sebenarnya, buka rasa yang disiksa, sebenarnya yaitu, sifatullah yang tampak, jasad itu hanya menurut.
11. Ingkang dipun siksa nênggih / apan ta caritanira / yaiku yayi ing têmbe / panggonanira kang mulya / têngahe wringin sungsang / iku sira dipun wêruh / ênggone wong rasa tunggal //
Yang disiksa sesungguhnya, yaitu cerita kamu, yaitu adinda pada saatnya nanti, tempatmu yang Muliya, ditengahnya pohon beringin yang terbalik, itulah yang harus kamu ketahui, tempatnya rasa manusia yang bersatu.
Pupuh IX
Kinanthi
1. Kinanthi ingkang winuwus / kang kari anèng nêgari / dèn awas sariranira / sasat wêruh suksma jati / awake kang kinawruhan / anênggih kalih prakawis //
Kinanthi yang terucap, yang tertinggal didalam Negara, berhati-hatilah dirimu, seperti melihat suksma sejati, badannya yang kelihatan, yaitu ada dua perkara.
2. Awak lair kang kadulu / kêlawan ati kêkalih / ati lair katingalan / kêlawan ati kêkalih / lair batin bedakêna / nanging nyatane kang lair //
Badan lahiriyah yang kelihatan, serta kedua hati, hati lahiriyah kelihatan, serta kedua hati, lahir batin harus dibedakan, namun kenyataannya yang lahir.
3. Kang lair pasthi maujut / sarta lawan batinnèki / kang batin pasthi katingal / dene anane kang batin / angutus mring lairira / kang lair kalingan batin //
Yang lahir pasti kelihatan, serta dengan batinmu, yang batin pasti kelihatan, sedangkan adanya yang batin, memerintahkan kepada lahiriyahmu, yang lahiriyah terhalang yang batin.
4. Pangandikanya Hyang Agung / marang kanjêng rasul nabi / kang minôngka gêdhonging Hyang / sêsoroge gêdhong mukmin / ambukak sakèhing rasa / Mukhamad iku kêkasih //
Sabdanya HYang Agung, kepada Rasulullah Nabi, yang sebagai istananya Hyang, gedung rahasia mukmin, membuka semua rasa, Muhammad itu kekasih.
5. Mukhamad warnane iku / iya rupa rijal gaip / pan sangking karsanira Hyang / lalirune Suksma jati / kang ingaran wujut tunggal / tan ana wujut kêkalih //
Muhammad wujudnya itu,  wujud rijalul gaib, dan sudah dikehendaki Hyang, pengantinya Suksma sejati, yang disebut wujud tunggal, tidak ada wujud keduanya.
6. Yèn sira ayun lumaku / anganggoa  rasul singgih / pangucapira khaklollah / pangambu pamyarsanèki / paningalira makripat / pan dadi badan rokhani //
Jika kamu hendak berjalan, memakailah rasul yang sesungguhnya, ucapanmu hakkullah, penciuman serta penglihatanmu, penglihatanmu makrifat, dan mejadi badan rohani.
7. Roh ilapi aranipun / rokhani badane singgih / pan iku langkung utama / dadi tingale lêstari / marang Suksma Maha Mulya / kêlawan ingkang kêkasih //
Ruh ilafi sebutannya, rohani badan sesungguhnya, dan itu lebih baik, jadi penglihatannya terpelihara, terhadap Suksma Maha Muliya, dengan yang dikasihi.
8. Nabi wali mukmin iku / sêdaya sami kawingking / pan dadi angucap dhawak / kêlawan nabi kêkasih / marang Suksma Maha Mulya / tan kandhêg anjohar jisim //
Nabi wali mukmin itu, semua sama-sama dibelakang, dan menjadi ucapannya pribadi, beserta nabi yang terkasih, terhadap Suksma Maha Muliya, tanpa berhenti kepada jisim.
9. Tingale rukyat puniku / dèn awas sira ningali / kadi aningali wulan / tatkalanira ing wêngi / anglir wulan karainan / makripat kêpalanèki //
Pengamatan itu, berhati-hatilah kamu melihat, seperti melihat bulan, sewaktu kamu di malam hari, seperti bulan kesiangan, makrifat penglihatanmu.
10. Yèn sira ayun andulu / marang Suksma Maha Suci / kêlawan mata kêpala / ing têmbe datan ningali / yêkti wuta tingalira / nora wêruh ing Hyang Widi //
Jika kamu ingin melihat, terhadap Suksma Maha Suci, dengan mata kepala, pada waktunya nanti tidak bisa melihat, pasti buta penglihatanmu, tidak mengetahui kepada Hyang Widi.
11. Yèn arsa awas andulu / ing wujude Suksma jati / dèn awas ing rupanira / iku warnanya Hyang Widi / awase kêlawan apa / sira ngiloa ing carmin //
Jika menginginkan tajam dalam penglihatan, kepada wujudnya Suksma sejati, waspadalah pada wajahmu, itu warnanya Hyang Widi, waspadanya menggunakan apa, kamu bercerminlah di depan kaca.
12. Kalbu mukmin ta puniku / minôngka paesan êning / ênggone sipate tingal / kêlawan ananing Widi / iya ati kang têtiga / dudu atinirèng jisim //
Kalbu mukminkah itu, sebagai perhiasan indah, tempat sifatnya penglihatan, dengan adanya Widi, iya ketiga hati, bukan hati yang berada dalam jisim.
13. Ati ingkang bôngsa luhur / minôngka ananing Widi / ana rupa tigang warna / iya kadim kang rumiyin / kapindhone kadim mudas / katigane murdas singgih //
Hati yang golongan luhur, sebagai adanya Widi, ada rupa tiga macam,  kadim yang pertama, yang kedua kadim mudas, yang ketiga murdas sesungguhnya.
14. Yaiku upamanipun / dhalang wayang lawan kêlir / dhalange pan wujut tunggal / wayangira roh ilapi / kêlire akyan sabitah / karone nyata ing kêlir //
Yaitu ibaratnya, dalam wayang beserta layar, dalangnya merupakan wujud tunggal, wayangnya itu ruh ilafi, layarnya akyan sabitah, keduanya nyata di dalam layar.
15. Mulane ingaran iku / kêlir wus katrapan ringgit / dhalange anukmèng wayang / wayange anukmèng kêlir / kêlire anukmèng dhawak / pan iku wujud birai //
Makanya disebut, layar sudah dipasangi wayang, dalangnya menjelma menjadi wayang, wayangnya mejelma di layar, layarnya menjelma pada pribadinya sendiri, itulah wujud gejolak asmara.
16. Sampun tumêkèng salulut / ewuh dènnya angarani / lamun angrasa kawula / dadi wujutira kalih / yèn sira ngrasa Pangeran / sakuthu lawan Hyang Widi //
Sudah sampai pada bercinta, susah dalam membahasakan, jika merasa sebagai hamba, jadi wujudmu ada dua, jika kamu merasa sebagai Pangeran, bersatu dengan Hyang Widi.
17. Mulane puniku luput / dene sêkuthu Hyang Widi / mangeran kang sipat baka / langgêng sipate Hyang Widi / tan kêna tinunggal karsa / pan nora panggih-pinanggih //
Makanya itu salah, sedangkan bersatu dengan Hyang Widi, mangeran yang bersifat abadi/kekal, langgeng sifatnya Hyang Widi, tidak dapat bersatu dalam kehendak, dan tidak saling bertemu.
18. Yèn wus dudu polahipun / pan têmbe angrasakna pati / sayêktine brata ngarang / angarang marang Hyang Widi / poma sira iku poma / tinêkanan rasa jati //
Jika sudah bukan tingkahnya, suatu saat akan merasakan mati, sebenarnya pertapa itu mengarang, mengarang kepada Hyang Widi, jangan kamu itu sekali-kali, bertanya tentang rasa sejati.
Tamat, Sèh Madal kalihan Dèwi Sulasikin.
Tamat, Seh Madal dengan Dewi Sulasikin.